Breaking News
Home / Historia / Asal Muasal Stasiun Brambanan? Kok Bukan Prambanan
Asal Muasal Stasiun Brambanan? Kok Bukan Prambanan
Stasiun Brambanan

Asal Muasal Stasiun Brambanan? Kok Bukan Prambanan

KOTATOEA.COM — Bagi Anda yang pernah naik kereta yang melewati stasiun ini, khususnya KRL relasi Yogyakarta-Solo  yang melewati Solo, Klaten, dan Yogyakarta.

Adapun stasiun pemberhentian yang dilewati yakni Stasiun Yogyakarta, Lempuyangan, Maguwo, Brambanan, Srowot, Klaten, Ceper, Delanggu, Gawok, Purwosari, Solo Balapan, Solo Jebres, dan Palur.

Pasti bertanya-tanya saat berhenti atau melewati Stasiun Brambanan.

Umumnya  nama-nama stasiun tersebut diberi nama berdasarkan nama daerah lokasi pemberhentian kereta tersebut. Hal ini tidak berlaku bagi Stasiun Brambanan ini.

Stasiun itu tidak berada di wilayah Brambanan. Stasiun Brambanan berada di Desa Kebondalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Di sisi lain, wilayah Prambanan tidak hanya ada di Klaten. Provinsi DI Yogyakarta memiliki daerah bernama sama yakni Kapanewon Prambanan di Kabupaten Sleman. Lalu, mengapa stasiun KRL Yogya-Solo diberi nama Brambanan dan bukan Prambanan sesuai nama wilayahnya?

Nama Stasiun Brambanan sudah terdaftar sejak di daftar jadwal perjalanan KA zaman Kolonial Belanda.

Data dari Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) atau perusahaan kereta api di masa Hindia Belanda menuliskan nama stasiun tersebut sebagai Brambanan.

Stasiun Brambanan juga memiliki kode stasiun kerta api BBN yang diambil dari singkatan nama stasiun tersebut. Jika namanya diubah menjadi Stasiun Prambanan, kodenya bisa berubah menjadi PBN atau PRB.

Kode PBN sudah digunakan Stasiun Prambon di Sidoarjo. Sementara kode stasiun PRB dipakai Stasiun Prembun di Kebumen.

Berdasarkan kompas.com, sejarawan Universitas Sebelas Maret (UNS), Harto Juwono menuturkan nama wilayah Prambanan di Klaten aslinya bernama Brambana.

Hal tersebut tercatat dalam buku Transactions of The Batavian Society of Arts and Science Volume VII karya A.H. Hubbard terbitan 1814. Penulis buku itu mengutip jurnal dari Letnan Kolonel MacKenzie pada 12 Januari 1812 berjudul Narrative of A Journey to Examine The Remains of An Ancient City and Temples at Brambanan in Java.

Sesuai judul jurnalnya, Letnan Kolonel MacKenzie menceritakan dirinya tiba di depan sebuah bangunan candi yang disebut sebagai “gundukan piramida kuno” yang berada di wilayah Brambana, Jawa.

“Dulu pada abad X, (Brambana) merupakan nama kerajaan yang dibangun oleh raja raksasa bernama Prabu Karungkala dan diturunkan kepada keturunannya Prabu Boko,” jelas Harto.

Dia melanjutkan, buku The History of Java karya Thomas Stamford Raffles terbitan 1818 menuliskan ada daerah yang disebut sebagai Brambanan.

Dalam sumber-sumber sejarah tahun 1812, 1816, 1820, 1839 dan 1870-an, lanjutnya, wilayah tersebut tetap disebut sebagai Brambanan.

Harto menambahkan, ada kemungkinan lain nama daerah itu disebut Brambanan berkaitan dengan nama Residen Yogya Van Bram yang mungkin menyewa tanah di situ.

Namun, hal ini masih belum pasti. Selain itu, ada dugaan lain wilayah tersebut diberi nama Brambana karena wilayah itu menjadi tempat berkumpul kaum Brahmana untuk sembahyang dalam agama Hindu.

“Itu tidak jelas (berubah dari Brambana menjadi Brambanan) tapi ada kemungkinan juga karena (sebutan) Brahmana menuju Brambana mungkin dari ucapan,” imbuh Harto.

Stasiun Brambanan (BBN), lebih dikenal sebagai Stasiun Prambanan, adalah stasiun kereta api kelas I yang terletak di Kebondalem Kidul, Prambanan, Klaten; pada ketinggian +146 meter.

Stasiun yang melayani KRL Commuter Line dan KA angkutan semen ini merupakan stasiun kereta api paling barat dan selatan di Kabupaten Klaten. Jalan Stasiun menghubungkan stasiun ini dengan jalan raya Solo—Yogyakarta.

Saat ini stasiun ini melayani bongkar muat semen secara reguler dan pernah melayani penumpang KA Prameks sejak 20 Juni 2016[4] sebelum digantikan oleh KRL.

Stasiun ini berada pada dataran Prambanan, sehingga letaknya berdekatan dengan berbagai bangunan kuno penting, seperti Candi Prambanan, Candi Sewu, Kompleks Ratu Boko, Candi Sojiwan, dan Candi Plaosan; selain candi-candi lain yang lebih kecil.

Meskipun daerah sekitarnya dikenal sebagai Prambanan, nama stasiun ini menurut data dari Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) ditulis sebagai Brambanan dan tidak mengalami perubahan hingga sekarang.[5]

Pada awalnya, stasiun ini kemungkinan memiliki empat jalur kereta api dengan jalur 1 merupakan sepur lurus.

Sejak pengoperasian jalur ganda Yogyakarta—Solo ruas Srowot—Ketandan per 2001, ruas Brambanan–Delanggu per 15 Desember 2003 dan ruas Brambanan-Yogyakarta per 8 Januari 2007, jalur 2 stasiun ini dijadikan sebagai sepur lurus arah Solo, sementara jalur 1 stasiun ini dijadikan sepur lurus arah Yogyakarta saja.

Jalur 4 dijadikan sebagai sepur simpan untuk parkir KA barang.

Bangunan lama stasiun ini, yang sebelumnya mirip dengan Stasiun Srowot dan merupakan peninggalan DKA, roboh akibat gempa bumi Yogyakarta 2006.

Sebagai penggantinya, bangunan stasiun yang digunakan sekarang dibangun oleh Direktorat Jenderal Perkeretaapian.

Ke arah barat stasiun ini, sebelum Stasiun Maguwo, terdapat Stasiun Kalasan yang sudah tidak aktif sejak jalur ganda lintas Kutoarjo—Solo dioperasikan.

Sejak tahun 2020 stasiun ini juga dilengkapi listrik aliran atas (LAA) sebagai bagian dari elektrifikasi jalur Yogyakarta—Solo Balapan.

Sumber : kompas.com/wikipedia