KOTATOEA.COM — Kisah perjuangan warga Kemit saat agresi militer Belanda menjadi bukti rakyat kecil juga ikut berjuang. Dikabarkan saat itu, pasukan patroli Belanda melakukan penyerangan ke pasar Kemit. Dengan gagah berani semua warga yang kuat melakukan perlawanan dengan mengamuk seperti kesetanan.
Perlawanan ini membuat takut Belanda dan mundur karena tak mengira rakayat kecil berani melakukan perlawanan.
Keesok harinya, pada suatu siang Belanda kembali melakukan penyerangan dengan membawa pasukan lebih banyak dengan beberapa mobil dan truk.
“Awan awan londo nyerang nganggo mobil wong wong tambah nesuh amergo Londo teka maning wektu kue neng kono krungune mung sworo tembakan lan sworo dedimamit wong kemit ngamuk karo negor wit glugu terus dipalangna nang dalan men mobil belanda ora isa liwat ,, wong podo koyo kesetanan ora due roso wedi lan ngeri ngamuk segelem gelem apa bae dilakokna ajangasi londo mengetan nglewati bates wetan lan nggo ngusir londo,, akhire londo mundur ,, amukane wong kemit ora sia sia ”
(Siang hari belanda menyerang dengan mobil rakyat kemit tambah marah karena belanda datang lagi saat itu di kemit yang terdengar hanya suara tembakan dan suara bom ,, rakyat kemit marah dan menebang pohon kelapa lalu di tidurkan dijalan supaya mobil belanda nggak bisa lewat, orang orang pada kaya kesurupan nggak punya rasa takut dan ngeri apa saja dilakukan untuk mengusir belanda agar belanda jangan sampai ke timur melewati batas wilayah,, akhirnya belanda mundur dan amukan rakyat kemit tidak sia sia,” (tulisan di Kas Kus).
Kini untuk mengingat perjuangan masyarakat Kemit dibuatlah Monumen Tugu Kemit di Jalan Karanganyar-Gombong, Kabupaten Kebumen. Monumen yang menandai peristiwa dimulainya Agresi Militer Belanda II tersebut.
Seperti dilansir suara.com dikatakan Mbah Karyo (78 tahun) masih ingat bagaimana peristiwa serangan Belanda di Kali Kemit berlangsung. Peristiwa ini menandai Agresi Militer Belanda II di wilayah Kebumen, Jawa Tengah.
Seingat Mbah Karyo, peristiwa itu diawali suara ledakan granat yang memecah kesunyian pagi. 19 Desember 1948.
“Waktu itu terdengar suara bom (granat). Orang-orang di sekitar Desa Grenggeng keluar semua. Penduduk panik dengar suara bom,” kata Mbah Karyo saat ditemui di rumahnya di Dusun Longop, Desa Grenggeng, Kecamatan Karanganyar, Kebumen.
Suara ledakan berasal dari Kali Kemit yang saat itu menjadi batas garis demarkasi wilayah Indonesia dan Belanda.
Sesuai perjanjian Renville, 17 Januari 1948, Belanda menguasai sebagian besar wilayah Indonesia melalui negara-negara yang diklaim sebagai bentukan mereka.
Republik Indonesia hanya menguasai wilayah di sebagian besar Sumatera (kecuali negara Sumatera Timur dan Selatan), Banten, Jawa Tengah, dan Yogyakarta.
Kali Kemit kemudian ditetapkan sebagai batas terluar bagian barat wilayah Negara Indonesia di pulau Jawa. Pasukan beserta pejabat pemerintahan Indonesia harus keluar dari daerah pendudukan Belanda.
Perjanjian ini menyebabkan pasukan Divisi Siliwangi ditarik keluar dari wilayah Jawa Barat ke Jawa Tengah (Long March Divisi Siliwangi).
Jembatan Kali Kemit menjadi pintu keluar-masuk pejabat dan tentara Indonesia yang hijrah ke Jawa Tengah.
Garis Demarkasi di Kali Kemit dijaga 7 anggota Polisi Kemanan (PK) yang berasal dari CPM. Pos penjagaan Polisi Keamanan menggunakan rumah milik warga, Prawiro Soemarto.
Serangan Belanda ke pos penjagaan, menyebabkan 7 Polisi Keamanan tewas. Namun menurut kesaksian Mbah Karyo, jumlah korban tewas saat itu lebih banyak, termasuk warga sipil.
Mbah Karyo menyebut korban tewas pada serangan itu mencapai 40 orang. Ketujuh Polisi Keamanan itu semula dimakamkan secara kurang layak di sebelah selatan Kali Kemit.
“Mereka dikubur di selatan Kali Kemit. Tapi sekarang sudah dipindah ke pemakaman yang lebih layak di Desa Grenggeng,” kata Mbah Karyo.
Setelah serangan Belanda itu warga Desa Grenggeng berhamburan mencari tempat aman. Termasuk Mbah Karyo yang saat itu masih bocah. “Saya lari kesana kemari nggak pakai celana mencari tempat aman.”
Selain harus menyelamatkan diri, Mbah Karyo dan warga lainnya juga kesulitan mendapatkan makan. Hasil panen petani biasanya dirampas tentara Belanda.
Salah satu tujuan membelah wilayah Indonesia menggunakan aturan garis demarkasi adalah memutus rantai pasokan makanan untuk tentara Republik.
“Penduduk harus mencari makanan sisa dari para tentara Belanda. Susah hidup jaman itu. Hasil panen sering diambil Belanda,” kata Mbah Karyo.
Untuk mengenang peristiwa bersejarah tersebut, Pemerintah Kabupaten Kebumen kemudian mendirikan monumen Tugu Kemit pada tahun 1974. Monumen yang dirancang seniman keturunan Tionghoa, Teguh Twan, selesai dibangun setahun kemudian.
Monumen Tugu Kemit terletak di Jalan Karanganyar-Gombong, Kabupaten Kebumen. Pada tembok Tugu Kemit, Teguh Twan dibantu seniman pahat, Suko membuat relief yang menceritakan peristiwa serangan Belanda tersebut. (*)